JAKARTA, Lingkar.news – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU) terkait batas usia calon peserta pilpres serta penambahan norma belum pernah mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres.
Dalam Sidang Pengucapan Putusan/Ketetapan di Gedung MK RI, Jakarta pada Senin, 23 Oktober 2023 Hakim Ketua MK Anwar Usman mengatakan permohonan pertama gugatan itu tidak dapat diterima serta permohonan kedua ditolak karena tidak beralasan menurut hukum.
“Menyatakan permohonan pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak dapat diterima. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya,” kata Anwar Usman.
Gugatan yang dimohonkan dalam Perkara Nomor 104/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh Gulfino Guevarrato.
Pada pokok permohonan pertama, Gulfino memohon Pasal 169 huruf q UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 21 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat pengangkatan pertama”.
Gibran Beri Respon Usai MK Tolak Gugatan Usia Capres-Cawapres Minimal 35 Tahun
Kedua, pemohon memohon penambahan norma baru pada Pasal 169 huruf n UU Pemilu menjadi “atau belum pernah mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sebanyak dua kali dalam jabatan yang sama”.
Terkait permohonan soal batas usia capres dan cawapres menjadi minimal 21 tahun dan maksimal 65 tahun, MK menegaskan permohonan tersebut telah kehilangan objek, karena Pasal 169 huruf q UU Pemilu telah memiliki pemaknaan baru sebagaimana Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023.
“Pokok permohonan pemohon kehilangan objek sepanjang Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017,” ujar Anwar.
Kemudian, terkait permohonan soal penambahan norma belum pernah mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres sebanyak dua kali, MK menyatakan permohonan tersebut tidak beralasan menurut hukum.
Menurut MK, Pasal 169 huruf n UU Pemilu yang saat ini berlaku sebenarnya telah cukup jelas dan tegas. Sementara itu, permintaan pemohon dinilai tidak berkaitan dengan makna dari rumusan asli pasal dimaksud, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum sepanjang Pasal 169 huruf n UU Nomor 7 Tahun 2017,” ungkap.
Terhadap putusan tersebut, terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari seorang hakim konstitusi, yakni Hakim Suhartoyo.
MK Tolak Gugatan Batas Maksimal Usia Capres 70 Tahun
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga menolak gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) mengenai batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) maksimal 70 tahun.
Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh tiga warga negara Indonesia (WNI) bernama Wiwit Ariyanto, Rahayu Fatika Sari, dan Rio Saputro, yang diwakili oleh 98 orang advokat tergabung dalam Forum Aliansi ’98 Pengacara Pengawal Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
“Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya,” kata Ketua MK Anwar Usman.
Para pemohon pada perkara itu mengajukan dua pokok permohonan. Pertama, memohon MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 70 tahun pada proses pemilihan”.
Kedua, memohon Pasal 169 huruf d UU Pemilu mengatur norma tambahan menjadi “tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM yang berat masa lalu, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya”.
MK Diminta Jaga Marwah terkait Putusan Batas Usia Capres dan Cawapres
Terkait batas usia maksimal capres-cawapres menjadi 70 tahun, MK berkesimpulan bahwa permohonan tersebut telah kehilangan objek, karena Pasal 169 huruf q UU Pemilu telah memiliki pemaknaan baru sebagaimana putusan MK terbaru pada tanggal 16 Oktober 2023.
“Pokok permohonan para pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah kehilangan objek,” kata Anwar membacakan konklusi.
Sementara itu, terhadap permohonan penambahan norma baru pada Pasal 169 huruf d UU Pemilu, MK berpendapat bahwa permohonan pemohon dapat menimbulkan redundansi atau kelimpahan makna.
Redundansi tersebut, menurut MK, berdampak pada adanya pengulangan makna yang memiliki kecenderungan keragu-raguan dan justru dapat mempersempit cakupan norma dasar yang secara natural terdapat dalam Pasal 169 huruf d UU Pemilu dimaksud.
MK pun menegaskan bahwa pasal tersebut sesungguhnya telah mencakup makna sangat luas, yaitu semua jenis tindak pidana berat, termasuk tindak pidana yang dimaksud oleh para pemohon sebagaimana petitum permohonannya.
Oleh sebab itu, MK menyatakan pokok permohonan para pemohon terkait Pasal 169 huruf d UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum.
“Pokok permohonan para pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf d UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ujar Anwar.
Atas putusan tersebut, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari seorang hakim konstitusi, yakni Hakim Suhartoyo. (Lingkar Network | Anta – Lingkar.news)