Lingkar.news – Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini membuka kembali ekspor pasir laut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut pada 15 Mei 2023.
Disebutkan dalam pasal 9 ayat bab IV butir 2 bahwa pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembanguanan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
Keputusan Presiden Jokowi terkait izin ekspor pasir laut ini turut mendapat sorotan dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, dalam cuitannya pada Minggu, 28 Mei 2023.
Kebijakan ini dinilai dapat memperparah kerusakan lingkungan khususnya berdampak pada masyarakat di sekitar pesisir dan pulau kecil. Penjualan pasir laut juga akan menambah ancaman kenaikan permukaan laut sehingga mempeparah abrasi.
“Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut,” tulisnya melalui akun resmi @susipudjiastuti.
Opini tersebut tak lain mengingat sebelumnya Indonesia telah melarang ekspor pasir laut yang termaktub dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 89/MPP/Kep/2/2022, Nomor SKB.07/MEN/2/2022, dan Nomor 01.MENLH/2/2022 tentang penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Selain itu, Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengatur penghentian ekspor pasir laut lewat Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Dalam SK itu disebutkan alasan pelarangan ekspor pasir laut untuk mencegah kerusakan lingkungan, salah satunya tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat penambangan pasir.
Di sisi lain, saat ini berbagai pihak tengah menyoroti fenomena percepatan perubahan iklim dan pemanasan global yang semakin terasa dan berdampak pada kehidupan manusia. Dampak fenomena perubahan iklim semakin luas terlihat dari berbagai peristiwa alam mulai dari suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi hingga meningkatnya bencana hidrometeorologi.
Termasuk jika izin ekspor pasir laut ini dilanjutkan, juga dikhawatirkan dapat menambah daftar panjang dampak percepatan perubahan iklim dan pemanasan global.
Menurut informasi yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) dalam State of the Climate 2022 yang terbit pada awal tahun 2023 menyebutkan bahwa tahun 2022 menempati peringkat keenam tahun terpanas dunia. Kondisi terpanas itu dipicu ileh tren pemanasan global yang diamplifikasi oleh kejadian anomali iklim El Nino. Secara berurutan, tahun-tahun terpanas menurut catatan WMO yakni 2016, 2020, 2019, 2017, 2015, 2022, 2021, 2018.
Tren pemanasan global juga mengakibatkan salju abadi di Puncak Jaya, Papua lebih cepat mencair. Yakni dari awal luasan salju abadi sekitar 200 km persegi kini hanya menyisakan 2 km persegi atau tinggal 1 persen saja.
Sebelumnya, Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, pernah menjelaskan bahwa akibat dari perubahan iklim juga memicu kejadian-kejadian ekstrem lebih kerap terjadi terutama kekeringan dan banjir. Frekuensi waktu terjadinya bencana tersebut juga semakin pendek dengan durasi yang lebih panjang.
Salah satu contoh nyata dampak perubahan iklim yakni kemunculan siklon tropis Seroja yang mengakibatkan banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur pada April 2021 lalu.
“Padahal fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi terbentuk di wilayah tropis seperti Indonesia. Namun, sleama 10 tahun terakhir siklon tropis semakin sering terjadi,” ujarnya.
Dampak perubahan iklim tidak hanya pemanasan global, cuaca ekstrem, krisis air bersih dan meningkatnya wabah penyakit. Dampak perubahan iklim dan pemanasan global juga membawa kerugian bidang ekonomi dan politik.
Seperti dikatakan Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Dodo Gunawan, bahwa tidak ada satupun negara yang aman dari efek percepatan perubahan iklim. Sehingga Indonesia harus melakukan berbagai langkah mitigasi secara komprehensif untuk menahan laju perubahan iklim.
‘”Mitigasi dan adaptasi ini menjadi urusan bersama. Tidak hanya pemerintah, namun juga semua sektor harus terlibat mulai dari swasta dan dunia usaha, akademisi, pers/media, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum. Semua harus terlibat tanpa terkecuali,” imbuhnya.
Sementara itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga menyatakan bahwa perubahan iklim yang memanaskan suhu bumi telah memicu peningkatan cuaca ekstrem di Indonesia. Hal ini dikatakan Peneliti Ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin.
Dia mengatakan bahwa percepatan perubahan iklimm membuat pola cuaca ektrem ikut berubah. Hal ini ditunjukkan dengan frekuensi hujan ekstrem yang kerap terjadi di Indonesia khususnya Sumatera Selatan, Lampung, Jawa bagian barat dan tengah.
Sedangkan hujan ekstrem juga meningkat selama musim kemarau di wilayah Jawa bagian timur, Lombok, Bali, Nus Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. (Lingkar Network | Lingkar.news)