JAKARTA, LINGKAR – Anggota Komisi E DPRD DKI Ima Mahdiah menduga pemangkasan penerima Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan pemotongan anggaran.
“Masalah utama ketika anggaran dipotong ini ‘kan yang jadi masalahnya anggaran KJMU diturunkan, makanya waktu rapat badan anggaran (banggar) kita sempat protes,” kata Ima, baru-baru ini.
Legislator ini menyoroti langkah Pemprov DKI Jakarta yang melakukan penyesuaian bantuan sosial biaya pendidikan, Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) dengan syarat, ketentuan, dan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS).
Dikatakan penyesuaian itu mampu mendukung dan memudahkan akses pendidikan bagi setiap warga Jakarta khususnya bagi peserta didik/mahasiswa dari keluarga tidak mampu.
“Kita sempat protes dan akhirnya hari ini kejadian, logikanya penerima KJMU seharusnya menerima sampai tuntas,” ujarnya.
Selain itu, dia juga menyoroti penyebab lain pemangkasan ini lantaran kurang cermatnya pendataan, mulai dari warga yang memiliki mobil kembali terdaftar hingga warga kurang mampu yang tak terpilih sebagai penerima manfaat.
“Dari total 19 ribu jadi 7.900 yang dapat karena diturunkan kuotanya,” jelasnya.
Dia menegaskan seharusnya penerima manfaat KJMU tidak perlu melakukan pendaftaran setiap tahun lantaran seharusnya otomatis berlanjut hingga tuntas.
Menurut dia, KJMU diibaratkan kuliah dengan anggaran awal besar, sehingga ketika di awal sudah layak menerima bantuan maka dipastikan diterima sampai selesai.
“Kalau mau pendataan ya di semester pertama, bukan di tengah jalan dipotong,” tegasnya.
Senada, anggota Komisi E DPRD DKI Jhonny Simanjuntak mengatakan Komisi E DPRD DKI siap memanggil Dinas Pendidikan DKI terkait masalah KJP Plus dan KJMU.
Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menegaskan penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) harus sesuai dengan syarat, ketentuan, dan mengacu kepada data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS).
“Kalau memang mereka sesuai dengan persyaratan dan memenuhi syarat, itu kan ada mekanisme timbal balik, bisa dicek kembali ke dinas sosial, lantas di sana ada musyawarah kelurahan,” kata Heru di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Rabu (6/3).
Pemeringkatan kesejahteraan (Desil) untuk peserta didik/mahasiswa dari keluarga tidak mampu yang memenuhi persyaratan mendapatkan bantuan KJP Plus dan KJMU dibagi atas kategori sangat miskin (Desil 1), miskin (Desil 2), hampir miskin (Desil 3), dan rentan miskin (Desil 4).
Sedangkan, bagi masyarakat yang terdata dalam pemeringkatan kesejahteraan Desil 5,6,7,8,9,10 (kategori keluarga mampu) tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan bantuan sosial biaya pendidikan KJP Plus dan KJMU.
Tanpa Pemberitahuan, Tiba-Tiba 11 Ribu Beasiswa Dicabut Begitu Saja
DI SISI LAIN, polemik pemutusan sepihak beasiswa Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini telah menimbulkan masalah besar bagi para mahasiswa yang selama ini bergantung dari bantuan pembiayaan itu.
Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh salah satu mahasiswa bernama Nadia. Ia tak bisa menutupi kesedihannya saat bercerita mengenai pemutusan KJMU sepihak.
“Enggak ada pemberitahuan sebelumnya, Bu, tiba-tiba sudah dicabut begitu saja. Kami tidak mendapat lagi bantuan beasiswa KJMU,” kata Nadia.
Setiap semester, Nadia mendapat beasiswa KJMU sebesar Rp9.000.000. Bantuan tersebut digunakan untuk keperluan pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) di kampusnya sebesar Rp10.000.000. Meski tidak bisa menutupi keseluruhan biaya pendidikan tingginya, mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta itu mengaku sangat terbantu dengan beasiswa tersebut.
“Orang tua cuma nambah Rp1.000.000 saja, Bu, jadi tidak terlalu memberatkan,” kata anak dari penjual nasi uduk tersebut.
Nadia mengaku sangat prihatin dengan keputusan Pemprov DKI Jakarta yang memutus beasiswa bagi masyarakat yang masuk dalam pemeringkatan kesejahteraan (Desil) 5, 6, 7, 8, 9, dan Desil 10. Dalam aturan terbaru, desil untuk peserta didik atau mahasiswa dari keluarga tidak mampu yang memenuhi persyaratan mendapatkan bantuan KJP Plus (Kartu Jakarta Pintar) dan KJMU adalah kategori sangat miskin (Desil 1), miskin (Desil 2), hampir miskin (Desil 3), dan rentan miskin (Desil 4).
“Bapak saya cuma pekerja serabutan, setelah di PHK waktu zaman COVID-19, tapi anehnya masuk ke dalam Desil 5,” kata seorang mahasiswa penerima KJMU, Fatimah.
Fatimah berharap, Pemprov DKI Jakarta dapat meninjau ulang keputusan pencabutan beasiswa tersebut karena dikhawatirkan akan menghambat kelancaran studi mahasiswa penerima KJMU. Fatimah mengaku khawatir, keputusan tersebut dapat membuat para mahasiswa melakukan cuti massal karena tidak mampu membayar UKT.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nizam mengakui bahwa biaya pendidikan tinggi memang tidak murah.
Data menunjukkan rata-rata biaya total pendidikan tinggi di Indonesia sekitar 2.000 dollar AS atau sekitar Rp28 juta/mahasiswa. Biaya pendidikan tinggi di Indonesia, relatif lebih murah jika dibandingkan India yang berkisar 3.000 dolar AS per mahasiswa.
Sementara, Malaysia baru seperempatnya karena biaya kuliah sekitar 7.000 dolar AS per mahasiswa. Kemudian di Singapura mencapai 25.000 dolar AS per mahasiswa, sedangkan di Australia berkisar 20.000 dolar AS, dan Amerika 23.000 dolar AS.
“Sementara di negara Skandinavia, biaya pendidikan memang ditanggung negara, karena masyarakat membayar pajak penghasilan tinggi. Adapun di Indonesia, pembayaran pajak masih rendah,” kata Nizam, dalam bincang edukasi secara hibrida bertajuk “Mengupas Skema Terbaik dan Ringankan Pendanaan Mahasiswa di Universitas Yarsi”, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Nizam mengatakan untuk model pendanaan kuliah berkeadilan diterapkan bagi mahasiswa, sesuai kemampuan ekonomi keluarga. Bahkan untuk mahasiswa dari keluarga miskin atau tidak mampu ada Kartu Indonesia Pintar (KIP ) Kuliah yang anggarannya lebih dari Rp13 triliun.
Meski demikian, ada tantangan bagi kelompok masyarakat menengah yang mengalami kesulitan dalam membiayai kuliah, namun kesulitan dalam mencari beasiswa.
“Untuk itu, kita perlu mencari skema pendanaan yang baik, yang tidak membuat mahasiswa terjerat utang seumur hidup,” terang Nizam. ( NAILIN RA – KORAN LINGKAR )