KUDUS, Lingkar.news – Rektor IAIN Kudus, Prof. Abdurrohman Kasdi, menanggapi usulan Pemerintah terkait kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) menjadi Rp 69,1 juta. Menurutnya, kenaikan tersebut merupakan implementasi Istitha’ah yang berkeadilan dan demi kemaslahatan jangka panjang.
“Kenaikan ini tentu sudah berdasarkan kajian yang matang dalam Mudzakarah Haji bulan lalu demi menyeimbangkan antara besaran beban jemaah dengan keberlangsungan dana nilai manfaat BPIH di masa yang akan datang. Sehingga, jamaah yang akan berangkat berikutnya juga tetap terjamin keberlangsungannya,” tegas alumni Al-Azhar ini.
Menurutnya, Istitha’ah (bahasa Arab: الاستطاعة) memiliki arti kemampuan manusia untuk melakukan perjalanan ke tanah suci dan melakukan manasik haji.
Presiden Jokowi Tegaskan Kenaikan Biaya Haji 2023 Masih Dikaji
Alumni Al-Azhar ini juga menjelaskan bahwa, menurut fatwa ulama fiqih, ibadah haji akan menjadi wajib bagi seseorang ketika ia mampu melakukannya. Istitha’ah dibahas dari empat sisi yaitu keuangan, keamanan, kesehatan fisik, dan waktu.
Ia menerangkan, Istitha’ah dari segi keuangan berarti kemampuan untuk membayar biaya perjalanan ke tanah suci, dan biaya pengeluaran hidup bagi mereka yang menjadi tanggungannya.
“Sedangkan yang dimaksud dengan Istitha’ah dalam hal keamanan adalah harta benda, jiwa dan kehormatannya terhindar dari segala macam ancaman dan bahaya selama perjalanan dan tinggal di Makkah,” jelasnya.
DPR Sebut Skema Usulan Kenaikan Biaya Haji akan Rugikan Calon Jamaah
Adapun Istitha’ah dari sisi fisik, tambahnya, merupakan kemampuan fisik dan jasmani untuk melakukan manasik-manasik haji. Sementara itu, Istitha’ah dari sisi waktu berarti memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perjalanan ke Makkah dan melakukan manasik haji.
“Implementasi makna Istitha’ah yang sesungguhnya adalah mereka yang mampu membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) secara langsung tanpa melalui pinjaman kredit atau dengan dana talangan haji. Karena selama ini, Kementerian Agama menerima pendaftaran calon jamaah haji dengan dua metode, yaitu dibayar langsung dari calon jamaah dan dengan dana talangan haji,” tuturnya menjelaskan.
Dana yang bersumber dari utang dana talangan haji, menganggap calon jamaah tersebut sudah Istitha’ah. Hal ini karena, calon jamaah dianggap mampu untuk membayar kredit, sehingga layak dikategorikan Istitha’ah potensial.
Menag Yaqut Cholil Usulkan Biaya Haji 2023 Naik Jadi Rp 69 Juta, Ini Faktanya
Sehingga, terjadi pergeseran makna Istitha’ah dari kemampuan secara material dan spiritual, menjadi kemampuan membayar kredit dan melunasi utang.
“Sepertinya, implementasi “haji kredit” dengan berbagai alasannya perlu dianalisis lebih jauh lagi. Kita perlu melihat apakah keinginan untuk memudahkan diri menjalankan perintah Allah dengan berhaji, bukan sekadar keinginan agar mudah melakukan kunjungan keluarga ke tanah suci,” tutur Rektor IAIN Kudus ini.
Sehingga meskipun belum memiliki uang sejumlah Bipih, harus dibelain dengan menggunakan dana talangan haji.
“Dari pihak bank atau instansi kredit, kita pun sulit membedakan antara keinginan untuk memudahkan umat Islam menjalankan perintah Allah dan keinginan mencari keuntungan dari usaha kredit,” ungkapnya.
Maka, jelasnya, hasil kajian Mudzakarah Perhajian Indonesia tentang dana talangan dengan memberikan rekomendasi pada poin 7, yaitu tidak mentolerir penggunaan dana talangan dan segala bentuk pembiayaan haji yang bertentangan dengan pemenuhan kaidah Istithaah dan menjadikan daftar antrean haji semakin panjang.
Rekomendasi ini, menurutnya, memperkuat pandangan Istitha’ah yang berimplikasi pada kewajiban haji.
“Dalam Hasiyah Syarqawy disebutkan, ‘Barangsiapa yang belum memenuhi syarat Istitha’ah maka tidak wajib baginya berhaji’ (Asy-Syarqawi, 1997: I: 460),” ucapnya.
Ia mengatakan, adanya pembiayaan dana talangan haji sangat berpengaruh dalam memperpanjang waiting list keberangkatan haji, sehingga menimbulkan ketidakadilan karena menutup kesempatan bagi masyarakat yang benar-benar mampu berhaji tanpa menggunakan jasa dana talangan.
“Apalagi, tahun 2023 ini Pemerintah Saudi telah menaikkan biaya layanan Masyair dalam jumlah yang sangat signifikan pada penyelenggaraan haji. Hal itu, mengakibatkan kenaikan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) hingga total sebesar Rp98.893.909,” ujarnya.
Diketahui, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibebankan kepada jamaah sebesar Rp69.193.733 atau 70 persen. Sedangkan besaran subsidi dari nilai manfaat pengelolaan dana haji sebesar Rp29.700.175 atau 30 persen.
“Penggunaan dana optimalisasi nilai manfaat yang sangat besar ini, berimplikasi pada Istithaah yang berkeadilan. Penyesuaian diperlukan seiring terus membesarnya penggunaan nilai manfaat dana operasional haji. Penyesuaian biaya perjalanan ibadah haji dalam rangka mendistribusikan nilai manfaat pengelolaan dana haji yang proporsional,” pungkasnya. (Lingkar Network | Lingkar.news)