JEPARA, Lingkarjateng.id – Kasus sengketa lahan antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara dengan AHS mendapat jawaban dari pihak Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Jepara melalui Kasi Pengendalian dan Penanganan Sengketa (PPS) Yuli Fitrianto pada Kamis, 6 September 2022.
Yuli mengatakan bahwa kasus sengketa lahan tersebut bukan pertama kalinya muncul ke permukaan. Permasalahan tersebut juga sudah berulang kali dimediasi termasuk mediasi di BPN, tapi ditolak oleh para pihak, terutama PT CJP.
“Jadi kita uraikan dari awal, pembebasannya tahun 2011-2012 antara pemilik dengan PT CJP. Kemudian mulai tahun 2014 – 2015, PT CJP dan bupati selaku pemegang hak ini mendapat somasi, gugatan perdata, pelaporan ke Polda Jawa Tengah,” katanya.
Dewan, Advokat, dan Ormas Minta Sekda Jepara Edy Sujatmiko Buka Riwayat Tanah
Lanjutnya, yang intens melakukan pelaporan ke BPN adalah setelah tahun 2017 terkait penerbitan Hak Pakai pada tahun 2017 oleh LBH Pancasila.
“Tahun 2020 kami dipanggil ke Polda untuk memberikan kesaksian, terus harus rapat di Sekda untuk menyelesaikannya. Semua upaya mediasi sudah kami lakukan dan memang mentok para pihak tidak mau. Termasuk tahun 2021, Sri Wulan sudah melaporkan ke Polda Jawa Tengah sebagai tindakan upaya hukum lainnya karena mediasi tidak menemui jalan yang bagus. Karena tidak cukup bukti, kasusnya dihentikan,” paparnya.
Ia menambahkan, pihak Sri Wulan kemudian mengajukan laporan ke Bareskrim, namun laporan tersebut dikembalikan ke Polda Jateng karena satu peristiwa yang sama tidak boleh dilaporkan ke bagian yang berbeda dan sampai sekarang laporan tersebut masih dalam upaya penyelidikan.
Terkait permasalahan yang ada, BPN sudah mengikuti termasuk dalam menangani sengketa tersebut, dan dalam pemeriksaan di Polda sudah tidak ada masalah dalam rangka penyelidikan.
“Baik pemeriksaan di Polres sampai ke Polda semua data sudah kami sampaikan dan memang tidak ada masalah,” imbuhnya.
Terkait solusi permasalahan tersebut, ia mengatakan, jika masing-masing pihak mempunyai bukti yang kuat dan upaya mediasi juga sudah mentok, maka satu-satunya jalan adalah menempuh jalur persidangan di pengadilan agar mempunyai status hukum yang tetap dan mengikat, sehingga akan diputuskan siapa yang berhak atas tanah tersebut.
“Lha ‘kan kemarin sudah jelas kalau Pak Sekda ‘kan pengaman aset ‘kan sudah jelas. Kalau pihak Sri Wulan, hal ini bukan yang pertama. Ini sudah dari tahun 2014 sampai sekarang. Kalau memang ada bukti-bukti sudah lengkap tinggal monggo para pihak untuk menempuh upaya-upaya hukum lain. Kan sudah berkali-kali dimediasi dan mentok hasilnya,” tegasnya.
Pada prinsipnya, BPN mengikuti dan menaati perintah dari putusan hakim dan itu sudah dilakukan oleh BPN berulang kali mulai dari pemanggilan Polres, Polda, bahkan sampai ke pengadilan juga. Pun terkait hasil putusan sidang di Pengadilan.
“Tergantung putusan dari pengadilan, misalkan menarik salah satu sertifikat untuk ditarik dan mematikan dari sertifikat itu tinggal nanti BPN mencatatkan,” pungkasnya. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)