JEPARA, Lingkarjateng.id – Sengketa lahan di Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Jepara antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara dengan Agus HS (AHS) akhirnya mendapat jawaban dari Sri Wulan sebagai pemilik lahan sebelumnya.
Sri Wulan (76) warga Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara membantah bahwa dirinya telah menjual tanah tersebut pada tahun 1986 kepada beberapa orang sebagaimana kabar yang berhembus di masyarakat.
Ia menuturkan bahwa tanah tersebut hanya digarap (disewakan, Red.) oleh almarhum Derjo Bajang yang waktu itu menjabat sebagai Perangkat Desa Tubanan (Bayan, Red.).
Sengketa Lahan di Jepara, Sekda Edy Tegaskan Sertifikat HP 14 Sah secara De Facto dan Yuridis
“Mboten (Tidak menjual, Red.) nek digarap Bayan Bajang inggih, Pak (kalau digarap iya, Pak) tahun 1986,” akunya kepada Tim Koran Lingkar pada Selasa, 4 Oktober 2022.
Ia menjelaskan, saat itu seluruh tanahnya digarap (disewakan, Red.) oleh almarhum Bayan Bajang, bukan menjualnya. Ia mengaku tidak mengetahui bahwa ternyata tanah tersebut sudah dijual ke beberapa pihak oleh Almarhum Bayan. Ia baru mengetahui tanah tersebut telah dijual sepulang dirinya berkunjung menengok teman dan saudara yang menjadi transmigran di Sumatera.
“Kulo ngertose nggih bar mantuk saking Sumatera niliki konco-konco sederek sing dadi transimigran (Saya tahunya ya setelah pulang dari Sumatera menengok teman dan saudara yang jadi transmigran, Red.),” terang Sri Wulan.
Ia mengatakan, dirinya tidak tahu alasan almarhum Bayan tersebut menjual tanahnya atas dasar apa karena memang dirinya tidak merasa menjual tanah tersebut kepada almarhum Bayan atau kepada pihak lain. Ia juga tidak melakukan proses jual beli tanah melalui surat jual beli desa yang ditandatangani oleh almarhum Kuata, petinggi saat itu (1986) dan disaksikan oleh carik Kaswi.
“Mboten rumongso wong niku sewan (tidak merasa kan itu sewa, Red.). Duko kaleh Bayan niku kok malah didol kaleh wong kulo mboten ngerti, Pak. (Tidak tahu kenapa oleh Bayan kok malah dijual kepada orang lain, saya tidak ngerti, Pak),” sambungnya.
Terkait dugaan menyembunyikan sertifikat SHM nomor 454 juga dibantah olehnya bahwa itu tidak benar. Sri Wulan menerangkan bahwa SHM nomor 454 telah dibawa oleh almarhum Bayan dengan alasan khawatir sertifikat tersebut hilang.
Namun, kenyataannya setelah Bayan meninggal sertifikat tersebut malah dijadikan agunan di koperasi simpan pinjam yang berada di Desa Krasak, Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara.
“Sertifikat itu yang membawa almarhum Bayan Bajang, kemudian setelah Bayan meninggal saya meminta sertifikat tersebut kepada anaknya, tapi tidak boleh. Kemudian sertifikat tersebut dijadikan jaminan oleh anaknya yang bernama Dodo,” jelasnya.
Berhubung sertifikat tersebut atas nama dirinya, pihak koperasi tidak bisa memprosesnya jika tidak ada tanda tangan pemilik tanah (tanda tangan sri wulan, Red.). Kemudian istri Dodo (anak Bayan Bajang, Red) datang membujuk Sri Wulan dengan mengatakan tipu daya bahwa anak Sri Wulan sedang mengajukan pinjaman dan perlu tanda tangan Sri Wulan.
Karena tak lebih dulu konfirmasi pada anaknya, Sri Wulan memberikan tanda tangannya. Akan tetapi, ketika ditelusuri, barulah ia sadar telah tertipu karena bukan anaknya yang mengajukan pinjaman melainkan anak Bayan. Ia pun mengurus sertifikatnya ke koperasi yang bersangkutan.
Sengketa antara koperasi dan Sri Wulan ini kemudian diselesaikan pihak desa. Sri Wulan akhirnya mendapatkan kembali sertifikat tanahnya pada tahun 2015. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Koran Lingkar)